Sore itu aku duduk di bangku taman depan rumah, menatap cahaya yang mulai merayap di antara cabang-cabang pohon mangga yang memangku langit. Aroma tanah lembab dan daun yang sedikit hangus karena matahari siang masih tersisa. Ada ketenangan aneh ketika kamu cuma diam dan mendengarkan daun bergesek pelan. Dari situ mulai kepikiran: merawat pohon itu ternyata bukan sekadar potong cabang sekenanya.
Kenapa aku suka sore-sore bareng pohon (cerita singkat)
Saat kecil, aku sering panjat pohon rambutan tetangga. Sekarang sudah nggak berani lagi—badan nggak segesit dulu—tapi kebiasaan memperhatikan pohon tetap ada. Aku belajar banyak dari tukang kebun dan beberapa arborist lokal yang datang merawat pepohonan di kompleks. Mereka selalu bilang, “Pohon yang sehat bikin lingkungan sehat, dan perawatan itu seni.” Kupikir itu tepat: ada ilmu, ada estetika, ada pula naluri merawat.
Tips arborist yang pernah aku catat (serius tapi ramah)
Ada beberapa hal yang sering diulang oleh arborist: timing, teknik, dan keselamatan. Timing penting—di iklim tropis, banyak pohon lebih baik dipangkas di awal musim kering untuk mengurangi risiko penyakit. Di daerah berempat musim, memang idealnya di akhir musim dingin sebelum tunas baru muncul. Teknik juga krusial; pemangkasan struktural saat pohon muda membantu menghindari cabang rapuh di masa depan. Dan keselamatan? Jangan pernah remehkan. Helm, kacamata, sarung tangan, tali pengaman—bukan aksesori, tapi keharusan.
Prinsip dasar yang sering kukutip: potong cabang ke titik cabang yang sehat, jangan sembarang topping (memendekkan mahkota secara drastis), dan jangan tinggalkan tunas liar yang bisa membuat deformitas. Oh ya, setelah pemangkasan, beri waktu bagi luka pohon untuk sembuh—jangan langsung pangkas lagi hanya karena terlihat “kosong”.
Jasa pemangkasan: kapan sebaiknya panggil profesional? (ngobrol santai)
Aku pernah mencoba menggunting cabang kecil sendiri. Malah membuat bentuk pohon jadi aneh dan kepala tetangga ngelus dada. Pengalaman itu ngajarin satu hal: kalau cabang besar, pohon tinggi, atau ada risiko ke listrik/rumah, panggil profesional. Mereka punya alat, pengalaman, dan asuransi kalau terjadi sesuatu.
Kalau butuh referensi, ada beberapa tim yang bekerja rapih dan komunikatif—salah satunya yang pernah aku lihat di lingkungan, namanya naranjaltreeservices. Mereka jelaskan rencana kerja, memberi estimasi risiko, dan setelah kerja, bersihin area sampai rapi. Buatku, itu worth it: biaya lebih mahal dari beli gergaji kecil, tapi aman dan hasilnya bagus.
Pohon itu bukan cuma hiasan — manfaat ekologis yang bikin kita bergantung
Pohon memberi banyak lebih dari sekadar keteduhan buat sore-sore. Mereka menurunkan suhu udara di sekeliling (efek penting di kota panas), menyimpan karbon, menyaring polutan udara, menahan erosi tanah, dan menjadi rumah bagi burung serta serangga. Di musim hujan, akar pohon membantu menyerap air hujan sehingga mengurangi limpasan dan banjir lokal. Secara psikologis juga terasa: orang yang tinggal dekat ruang hijau cenderung lebih rileks dan lebih sedikit stres.
Aku sering berpikir: merawat pohon itu investasi jangka panjang—untuk generasi yang belum lahir. Sedikit perawatan sekarang, pohon akan memberi puluhan tahun manfaat. Itu membuatku lebih sabar kalau harus menunggu hasil.
Beberapa tindakan kecil yang bisa dilakukan oleh pemilik rumah: mulsa di sekitar pangkal pohon (jangan langsung menyentuh batang), hindari mengompaksi tanah di zona akar (parkir berat atau bongkar tanah), dan perhatikan tanda-tanda penyakit: jamur di pangkal, cabang mati yang tak mau hijau lagi, atau lubang besar pada batang. Untuk yang mau belajar, minta arborist menjelaskan saat kunjungan—orang baik biasanya senang berbagi tips sederhana.
Pulang dari bangku taman itu, aku bawa pulang rasa syukur kecil. Pohon-pohon di lingkungan itu sudah jadi saksi bisu banyak cerita: anak-anak yang dulu main, kucing yang tidur di pangkal, dan tetangga yang kadang ngobrol di bawah rindangnya. Merawat pohon bukan cuma soal estetika atau aturan teknis, tapi soal merawat bagian dari kehidupan bersama. Jadi, minggu ini, coba luangkan waktu duduk di bawah pohon—dengarkan, hirup, dan kalau perlu, panggil ahli kalau ada yang perlu diperbaiki. Pohon juga butuh teman sore seperti kita.